waktu
Kembali kepada ayat
Adz-Dzariyat di atas, dapat
ditegaskan
bahwa Al-Quran menuntut
agar kesudahan semua
pekerjaan
hendaknya
menjadi ibadah kepada
Allah, apa pun jenis dan
bentuknya. Karena itu, Al-Quran memerintahkan untuk melakukan
aktivitas apa pun setelah menyelesaikan ibadah ritual.
Apabila telah melaksanakan shalat (Jumat),
bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia
Allah, dan selalu ingatlah Allah supaya kamu beruntung
(QS Al-Jum'ah [62]: 10).
Dari sini
ditemukan bahwa Al-Quran
mengecam secara tegas
orang-orang yang
mengisi waktunya dengan bermain tanpa tujuan
tertentu seperti kanak-kanak. Atau melengahkan
sesuatu yang
lebih penting seperti
sebagian remaja, sekadar mengisinya
dengan bersolek seperti sementara wanita, atau menumpuk harta
benda dan memperbanyak
anak dengan tujuan
berbangga-bangga
seperti halnya dilakukan banyak orangtua.
Ketahuilah bahwa kehidupan dunia (bagi orang yang tidak
beriman) hanyalah permainan sesuatu yang melalaikan,
perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta
berbanggaan tentang banyaknya harta dan anak (QS 57: 20
dan baca Tafsir ibnu Katsir serta Tafsir Al-Manar) .
Kerja atau amal dalam bahasa Al-Quran, seringkali dikemukakan
dalam bentuk indefinitif
(nakirah). Bentuk ini
oleh
pakar-pakar bahasa dipahami sebagai memberi
makna keumuman,
sehingga amal yang dimaksudkan mencakup segala macam dan
jenis
kerja. Perhatikan misalnya firman Allah dalam surat Ali Imran
ayat 195.
Aku (Allah) tidak mensia-siakan kerja salah seorang di
antara kamu baik lelaki maupun perempuan.
Al-Quran tidak hanya memerintahkan orang-orang
Muslim untuk
bekerja, tetapi juga
kepada selainnya. Dalam surat Al-An'am
ayat 135 dinyatakan,
Hai kaumku (orang-orang kafir), berbuatlah sepenuh
kemampuan (dan sesuai kehendak). Aku pun akan berbuat
(demikian). Kelak kamu akan mengetahui siapakah di
antara kita yang akan memperoleh hasil yang baik di
dunia/akhirat.
Bahkan Al-Quran tidak hanya memerintahkan asal bekerja
saja,
tetapi bekerja dengan
sungguh-sungguh, sepenuh hati. Al-Quran
tidak memberi peluang kepada seseorang untuk tidak
melakukan
suatu aktivitas kerja
sepanjang saat yang dialaminya
dalam
kehidupan dunia ini. Surat Al-'Ashr dan dua ayat terakhir
dari
surat Alam Nasyrah
menguraikan secara gamblang
mengenai
tuntunan di atas.
Dalam surat Alam Nasyrah, terlebih dahulu ditanaman optimisme
kepada setiap Muslim dengan berpesan,
... karena. sesungguhnya sesudah kesulitan ada
kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan
(QS 94: 5-6).
Maksudnya,
sesungguhnya bersama satu
kesulitan yang sama
terdapat dua
kemudahan yang berbeda. Maksud ini dipahami dari
bentuk redaksi ayat di atas.
Terlihat bahwa kata
al-ushr
terulang dua kali
dan keduanya dalam
bentuk definitif
(ma'rufah) yakni menggunakan alif dan lam (al), sedangkan
kata
yusra juga terulang
dua kali tetapi dalam bentuk indefinitif,
karena tidak menggunakan alif dan lam. Dalam kaidah
kebahasaan
dikemukakan
bahwa apabila dalam
suatu susunan terdapat dua
kata yang sama dan keduanya berbentuk definitif, maka
keduanya
bermakna sama sedangkan bila keduanya berbentuk
indefinitif,
maka ia berbeda.
Setelah berpesan demikian, kembali surat ini memberi petunjuk
kepada umat manusia agar bersungguh-sungguh dalam
melaksanakan
suatu pekerjaan walaupun
baru saja menyelesaikan
pekerjaan
yang lain, dengan
menjadikan harapan senantiasa hanya tertuju
kepada Allah Swt.
Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain
(QS 94: 7).
Kata faraghta terambil dan kata faragha yang ditemukan
dalam
Al-Quran
sebanyak enam kali
dengan berbagai bentuk
derivasinya. Dari segi bahasa, kata tersebut
berarti kosong
setelah
sebelumnya penuh, baik
secara material maupun
imaterial. Seperti gelas
yang tadinya dipenuhi,
oleh air,
kemudian diminum atau
tumpah sehingga gelas
itu menjadi
kosong. Atau hati yang tadinya gundah dipenuhi oleh ketakutan
dan kesedihan, kemudian plong, semua digambarkan dengan akar
kata ini. Perlu
digarisbawahi bahwa kata
faragh tidak
digunakan
selain pada kokosongan
yang didahului oleh
kepenuhan, maupun keluangan yang didahului oleh kesibukan.
Dari sini jelas bahwa kekosongan yang dimaksud harus
didahului
oleh adanya sesuatu yang mengisi "wadah" kosong
itu. Seseorang
yang telah memenuhi waktunya
dengan pekerjaan, kemudian
ia
menyelesaikan
pekerjaan tersebut, maka
jarak waktu antara
selesai pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan
selanjutnya
dinamai faragh.
Jika Anda berada dalam keluangan (faragh) sedangkan
sebelumnya
Anda telah memenuhi waktu dengan kerja keras, maka itulah
yang
dimaksud dengan fan-shab.
Kata fan-shab antara lain berarti
berat, atau letih. Kata ini pada mulanya
berarti menegakkan
sesuatu sampai nyata
dan mantap, seperti halnya gunung. Allah
Swt. berfirman,
Apakah mereka tidak melihat unta bagaimana diciptakan,
dan kepada langit bagaimana ditinggiikan, dan kepada
gunung bagaimana ditegakkan sehingga menjadi nyata (QS
88: 17-19).
Kalimat terakhir
pada terjemahan di
atas dijelaskan oleh
Al-Quran dengan kata yang berakar sama dengan fan-shab yaitu
nushibat dalam kalimat Wa ilal jibali
kaifa nushibat. Dari
kata ini juga
dibentuk kata nashib atau
"nasib" yang biasa
dipahami sebagai "bagian
tertentu yang diperoleh
dari
kehidupan yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata, jelas,
dan sulit dielakkan".
Kini --setelah arti kosakata diuraikan-- dapatlah kita
melihat
beberapa
kemungkinan terjemahan ayat 7 dan
8 dari surat Alam
Nasyrah di atas.
Apabila engkau telah berada dalam keluangan (setelah
tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah
bekerja) sampai engkau letih, atau tegakkanlah (suatu
persoalan baru) sehingga menjadi nyata.
Ayat ini --seperti dikemukakan di atas-- tidak memberi
peluang
kepada Anda untuk
menganggur sepanjang masih ada masa, karena
begitu Anda selesai
dalam satu kesibukan,
Anda dituntut
melakukan
kesibukan 1ain yang
meletihkan atau menghasilkan
karya nyata, guna mengukir nasib Anda.
Nabi Saw. menganjurkan umatnya agar
meneladani Allah dalam
sifat dan sikap-Nya
sesuai dengan kemampuannya
sebagai
makhluk. Dan salah satu yang perlu dicontoh adalah sikap
Allah
yang dijelaskan dalam surat Ar-Rahman ayat 29.
Setiap saat Dia (Allah) berada dalam kesibukan.
AKIBAT MENYIA-NYIAKAN WAKTU
Jika Anda bertanya, "Apakah akibat yang
akan terjadi kalau
menyia-nyiakan waktu?" Salah satu jawaban yang paling
gamblang
adalah ayat pertama dan kedua surat Al-'Ashr.
Allah Swt. memulai surat ini dengan bersumpah Wal 'ashr (Demi
masa), untuk membantah
anggapan sebagian orang
yang
mempersalahkan waktu dalam kegagalan mereka. Tidak ada
sesuatu
yang dinamai masa
sial atau masa
mujur, karena yang
berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang.
Dan
inilah yang berperan di dalam baik atau buruknya akhir suatu
pekerjaan,
karena masa selalu
bersifat netral. Demikian
Muhammad 'Abduh menjelaskan sebab turunnya surat ini.
Allah bersumpah dengan
'ashr, yang arti harfiahnya adalah
"memeras
sesuatu sehingga ditemukan
hal yang paling
tersembunyi padanya," untuk menyatakan bahwa,
"Demi masa, saat
manusia mencapai hasil setelah memeras tenaganya,
sesungguhnya
ia merugi apa pun hasil yang dicapainya itu, kecuali
jika ia
beriman dan beramal
saleh" (dan seterusnya
sebagaimana
diutarakan pada ayat-ayat selanjutnya).
Kerugian
tersebut baru disadari setelah
berlalunya masa yang
berkepanjangan, yakni paling tidak akan disadari
pada waktu
'ashr kehidupan menjelang
hayat terbenam. Bukankah
'ashr
adalah waktu ketika matahari akan terbenam? itu agaknya
yang
menjadi sebab sehingga
Allah mengaitkan kerugian
manusia
dengan kata 'ashr
untuk menunjuk "waktu
secara umum",
sekaligus untuk mengisyaratkan bahwa penyesalan dan kerugian
selalu datang kemudian.
Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam khusr
(kerugian).
Kata khusr mempunyai banyak arti, antara
lain rugi, sesat,
celaka, lemah, dan
sebagainya yang semuanya mengarah kepada
makna-makna negatif yang tidak disenangi oleh siapa
pun. Kata
khusr pada ayat
di atas berbentuk
indefinitif (nakirah),
karena ia menggunakan tanwin, sehingga dibaca khusr(in),
dan
bunyi in itulah yang
disebut tanwin. Bentuk indefinitif, atau
bunyi in yang ada pada kata tersebut berarti "keragaman dan
kebesaran",
sehingga kata khusr
harus dipahami sebagai
kerugian, kesesatan, atau kecelakaan besar.
Kata fi biasanya
diterjemahkan dengan di
dalam bahasa
indonesia. Jika misalnya
Anda berkata, "Baju di lemari atau
uang di saku", tentunya yang Anda maksudkan adalah
bahwa baju
berada di dalam
lemari dan uang berada di dalam
saku. Yang
tercerap dalam
benak ketika itu
adalah bahwa baju
telah
diliputi lemari, sehingga keseluruhan bagian-bagiannya telah
berada di dalam lemari. Demikian juga uang ada di dalam
saku
sehingga tidak sedikit pun yang berada di luar.
Itulah juga yang dimaksud dengan ayat di atas, "manusia
berada
didalam kerugian". Kerugian adalah wadah dan manusia
berada di
dalam wadah tersebut. Keberadaannya dalam wadah itu
mengandung
arti bahwa manusia berada dalam kerugian total, tidak ada
satu
sisi pun dari diri
dan usahanya yang luput dari kerugian, dan
kerugian itu amat besar lagi beraneka ragam. Mengapa
demikian?
Untuk menemukan jawabannya kita perlu menoleh kembali kepada
ayat pertama, "Demi masa", dan mencari
kaitannya dengan ayat
kedua, "Sesungguhnya manusia berada didalam
kerugian".
Masa adalah modal
utama manusia. Apabila tidak diisi dengan
kegiatan, waktu akan
berlalu begitu. Ketika
waktu berlalu
begitu saja, jangankan keuntungan diperoleh, modal pun
telah
hilang. Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bersabda,
"Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat
diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok,
tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin
kembali esok."
Jika demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak
diisi,
yang bersangkutan
sendiri yang akan merugi. Bahkan jika diisi
dengan hal-hal
yang negatif, manusia
tetap diliputi oleh
kerugian. Di sinilah terlihat kaitan antara ayat pertama
dan
kedua. Dari sini pula ditemukan sekian banyak hadis
Nabi Saw.
yang
memperingatkan manusia agar
mempergunakan waktu dan
mengaturnya sebaik mungkin, karena sebagaimana sabda Nabi
Saw
Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak
orang: kesehatan dan kesempatan (Diriwayatkan oleh
Bukhari melalu Ibnu Abbas r.a.) .
BAGAIMANA CARA MENGISI WAKTU?
Tidak pelak lagi
bahwa waktu harus
diisi dengan berbagai
aktivitas
positif. Dalam surat Al-'Ashr
disebutkan empat hal
yang dapat menyelamatkan manusia dari kerugian dan kecelakaan
besar dan beraneka
ragam. Yaitu, (a) yang beriman, (b) yang
beramal saleh, (c) yang saling berwasiat dengan kebenaran,
dan
(d) yang saling berwasiat dengan kesabaran. Sebenarnya
keempat
hal ini telah
dicakup oleh kata
"amal", namun dirinci
sedemikian rupa untuk
memperjelas dan menekankan beberapa hal
yang boleh jadi sepintas lalu tidak terjangkau
oleh kalimat
beramal saleh yang disebutkan pada butir (b) .
Iman --dari segi
bahasa-- bisa diartikan dengan pembenaran.
Ada sebagian pakar yang mengartikan iman
sebagai pembenaran
hati terhadap hal
yang didengar oleh telinga. Pembenaran akal
saja tidak cukup --kata mereka-- karena yang
penting adalah
pembenaran hati.
Peringkat iman dan kekuatannya berbeda-beda antara seseorang
dengan lainnya, bahkan dapat berbeda antara satu saat
dengan
saat lainnya pada diri seseorang. Al-iman yazidu wa
yanqushu
(Iman itu bertambah dan berkurang), demikian bunyi
rumusannya.
Nah, upaya untuk
mempertahankan dan meningkatkan
iman
merupakan hal yang amat
ditekankan. Iman inilah
yang amat
berpengaruh pada hal
diterima atau tidaknya suatu amal oleh
Allah Swt.
Dalam surat Al-Furqan ayat 23 Allah menegaskan,
Kami menuju kepada amal-amal (baik) mereka (orang-orang
tidak percaya), lalu kami menjadikan amal-amal itu
(sia-sia bagai) debu yang beterbangan.
Ini disebahkan amal atau pekerjaan tersebut
tidak dilandasi
oleh iman. Demikianlah
bunyi sebuah ayat
yang merupakan
"undang-undang Ilahi"
Di atas dikatakan bahwa tiga butir yang disebut
dalam surat
ini pada hakikatnya
merupakan bagian dari amal saleh. Namun
demikian ketiganya disebut secara eksplisit untuk
menyampaikan
suatu pesan tertentu.
Pesan tersebut antara lain adalah bahwa
amal saleh yang tanpa iman tidak akan diterima oleh Allah
Swt.
Dapat juga
dinyatakan ada dua
macam ajaran agama,
yaitu
pengetahuan dan pengamalan.
Iman (akidah) merupakan
sisi
pengetahuan, sedangkan syariat merupakan sisi pengamalan.
Atas
dasar inilah ulama
memahami makna alladzina amanu (orang yang
beriman) dalam ayat ini
sebagai "orang-orang yang
memiliki
pengetahuan
tentang kebenaran". Puncak
kebenaran adalah
pengetahuan
tentang Allah dan
ajaran-ajaran agama yang
bersumber
dari-Nya. Jika demikian, sifat pertama yang dapat
menyelamathan
seseorang dari kerugian
adalah iman atau
pengetahuan tentang kebenaran. Hanya saja harus diingat,
bahwa
dengan iman seseorang baru menyelamatkan seperempat
dirinya,
padahal ada empat
hal yang disebutkan surat Al-'Ashr yang
menghindarkan manusia dari kerugian total.
MACAM-MACAM KERJA DAN SYARAT-SYARATNYA
Hal kedua yang
disebutkan dalam surat
Al-'Ashr adalah
'amilush-shalihat (yang melakukan amal-amal saleh). Kata
'amal
(pekerjaan)
digunakan oleh Al-Quran
untuk menggambarkan
perbuatan yang disadari oleh manusia dan jin.
Kiranya menarik untuk
mengemukakan pendapat beberapa
pakar
bahasa yang menyatakan bahwa kata 'amal dalam Al-Quran
tidak
semuanya
mengandung arti berwujudnya suatu
pekerjaan di alam
nyata. Niat untuk melakukan sesuatu yang baik --kata mereka--
juga dinamai 'amal.
Rasul Saw. menilai
bahwa niat baik
seseorang memperoleh ganjaran di sisi Allah, dan inilah
maksud
surat Al-Zalzalah ayat 7:
Dan barang siapa yang mengamalkan kebajikan walaupun
sebesar biji sawi niscaya ia akan mendapatkan
(ganjaran)-nya.
Amal manusia yang beraneka ragam itu bersumber dan
empat daya
yang dimilikinya:
1. Daya tubuh, yang memungkinkan manusia memiliki
antara lain kemampuan dan keterampilan teknis.
2. Daya akal, yang memungkinkan manusia memiliki
kemampuan mengembangkan ilmu dan teknologi, serta
memahami dan memanfaatkan sunnatullah
3. Daya kalbu, yang memungkinkan manusia memiliki
kemampuan moral, estetika, etika, serta mampu
berkhayal, beriman, dan merasakan kebesaran ilahi.
4. Daya hidup yang memungkinkan manusia memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan,
mempertahankan hidup, dan menghadapi tantangan.
Keempat daya ini apabila digunakan sesuai petunjuk Ilahi,
akan
menjadikan amal tersebut sebagai "amal saleh".
Kata shalih terambil
dari akar kata
shaluha yang dalam
kamus-kamus
bahasa Al-Quran dijelaskan
maknanya sebagai
antonim (lawan) kata
fasid (rusak). Dengan
demikian kata
"saleh" diartikan sebagai tiadanya atau
terhentinya kerusakan.
Shalih juga diartikan
sebagai bermanfaat dan sesuai. Amal
saleh adalah pekerjaan
yang apabila dilakukan
tidak
menyebabkan dan mengakibatkan madharrat (kerusakan), atau
bila
pekerjaan tersebut dilakukan
akan diperoleh manfaat
dan
kesesuaian.
Secara
keseluruhan kata shaluha
dalam berbagai bentuknya
terulang dalam Al-Quran sebanyak 180 kali. Secara umum
dapat
dikatakan bahwa kata
tersebut ada yang
dibentuk sehingga
membutuhkan
objek (transitif), dan
ada pula yang
tidak
membutuhkan
objek (intransitif). Bentuk
pertama menyangkut
aktivitas yang mengenai objek penderita. Bentuk
ini memberi
kesan bahwa objek
tersebut mengandung kerusakan
dan
ketidaksesuaian
sehingga pekerjaan yang
dilakukan akan
menjadikan objek tadi
sesuai atau tidak
rusak. Sedangkan
bentuk kedua menunjukkan
terpenuhinya nilai manfaat
dan
kesesuaian
pekerjaan yang dilakukan.
Usaha menghindarkan
ketidaksesuaian pada sesuatu
maupun menyingkirkan madharrat
yang ada padanya
dinamai ishlah; sedangkan usaha memelihara
kesesuaian serta manfaat yang terdapat pada
sesuatu dinamai
shalah.
Apakah tolok ukur
pemenuhan nilai-nilai atau keserasian dan
ketidakrusakan itu? Al-Quran tidak menjelaskan, dan para
ulama
pun berbeda pendapat.
Syaikh Muhammad 'Abduh,
misalnya,
mendefinisikan amal
saleh sebagai, "segala
perbuatan yang
berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia
secara
keseluruhan."
Apabila
seseorang telah mampu
melakukan amal saleh
yang
disertai iman, ia telah memenuhi dua dari empat hal yang
harus
dipenuhinya untuk membebaskan dirinya
dari kerugian total.
Namun sekali lagi harus diingat, bahwa menghiasi diri
dengan
kedua hal di
atas baru membebaskan
manusia dari setengah
kerugian karena ia
masih harus melaksanakan dua hal lagi agar
benar-benar selamat,
beruntung, serta terjauh
dari segala
kerugian.
Yang ketiga dan keempat
adalah Tawashauw bil haq wa tawashauw
bish-shabr (saling mewasiati tentang kebenaran dan
kesabaran).
Agaknya bukan di
sini tempatnya kedua hal di atas diuraikan
secara rinci. Yang dapat
dikemukakan hanyalah bahwa
al-haq
diartikan
sebagai kebenaran yang diperoleh
melalui pencarian
ilmu dan ash-shabr adalah ketabahan menghadapi segala
sesuatu,
serta kemampuan menahan
rayuan nafsu demi
mencapai yang
terbaik.
Surat Al-'Ashr
secara keseluruhan berpesan
agar seseorang
tidak hanya mengandalkan
iman saja, melainkan
juga amal
salehnya. Bahkan amal
saleh dengan iman
pun belum cukup,
karena masih membutuhkan
ilmu. Demikian pula amal saleh dan
ilmu saja masih belum memadai, kalau tidak ada
iman. Memang
ada orang yang merasa cukup puas dengan ketiganya,
tetapi ia
tidak sadar bahwa kepuasan dapat menjerumuskannya dan ada
pula
yang merasa jenuh.
Karena itu, ia
perlu selalu menerima
nasihat agar tabah dan sabar, sambil
terus bertahan bahkan
meningkatkan iman, amal, dan pengetahuannya.
Demikian
terlihat bahwa amal
atau kerja dalam
pandangan
Al-Quran bukan sekadar upaya memenuhi kebutuhan makan, minum,
atau rekreasi, tetapi
kerja beraneka ragam
sesuai dengan
keragaman daya manusia.
Dalam hal ini
Rasulullah Saw.
mengingatkan:
Yang berakal selama akalnya belum terkalahkan oleh
nafsunya, berkewajiban mengatur waktu-waktunya. Ada
waktu yang digunakan untuk bermunajat (berdialog)
dengan Tuhannya, ada juga untuk melakukan introspeksi.
Kemudian ada juga untuk memikirkan ciptaan Allah
(belajar), dan ada pula yang dikhususkan untuk diri
(dan keluarganya) guna memenuhi kebutuhan makan dan
minum (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim
melalui Abu Dzar Al-Ghifari).
Demikian surat Al-'Ashr mengaitkan
waktu dan kerja,
serta
sekaligus memberi petunjuk bagaimana seharusnya mengisi
waktu.
Sungguh tepat imam Syafi'i mengomentari surat ini:
Kalaulah manusia memikirkan kandungan surat ini,
sesungguhnya cukuplah surat ini (menjadi petunjuk bagi
kehidupan mereka).[]